Pernahkah Anda mendengar istilah duck syndrome? Istilah ini pertama kali berkembang di Universitas Stanford untuk menggambarkan fenomena sosial para mahasiswanya.
Sebutan duck syndrome diambil dari gerakan bebek yang mengapung di air, dimana terlihat tenang di atas permukaan namun di bawah air kakinya terus berkecipak agar badan tetap mengambang. Dalam kaitannya dengan masalah kejiwaan, duck syndrome dapat diartikan sebagai kondisi dimana seseorang tampak baik-baik saja di luar namun sebenarnya ia sedang memiliki banyak beban dan masalah.
Situasi ini banyak dialami pada pelajar, mahasiswa, dan para lulusan baru yang sedang merintis karir. Kelompok ini kerap dibebani oleh tuntutan hidup seperti ekspektasi orang tua, tekanan sosial, tuntutan nilai bagus, cepat lulus dan pekerjaan yang mapan.
Seringkali mereka menganggap bahwa hidup mereka sedang diamati orang lain sehingga harus menunjukkan bahwa mereka unggul di atas segalanya. Mereka juga sering membanding-bandingkan kehidupannya dengan orang lain dan merasa bahwa hidup orang lain selalu lebih baik darinya.
Mengatasi duck syndrome
Terus-menerus merasa kurang dan keinginan harus lebih baik dari yang lain dapat memicu stres, depresi, gangguan kecemasan dan gangguan kecemasan lainnya. Meskipun saat ini duck syndrome belum masuk ke dalam salah satu jenis gangguan mental dalam dunia psikologi, namun kondisi ini perlu ditangani dengan segera. Jika perasaan ini terus dibiarkan, penderita berpotensi mengalami gangguan mental yang lebih serius seperti depresi berat hingga muncul pikiran untuk bunuh diri.
Bila Anda mulai merasakan gejala-gejala duck syndrome seperti kerap membandingkan diri dengan orang lain, muncul perasaan takut gagal dan gangguan kecemasan, maka sebaiknya segera cari bantuan profesional untuk mengatasinya. Beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mengurangi gejala duck syndrome di antaranya:
1. Konsultasikan dengan para ahli
Dalam menghadapi persoalan kejiwaan, Anda perlu konseling dengan para profesional seperti psikolog atau psikiater. Para ahli akan melakukan pemeriksaan agar dapat memberi rekomendasi terapi yang tepat sesuai kondisi Anda. Jika diperlukan, lakukan konseling dengan konselor di kampus atau sekolah untuk membuat Anda merasa lebih baik.
2. Menjalani terapi pendukung
Pasien duck syndrome dapat menjalani terapi yang dibutuhkan seperti terapi perilaku, psikoterapi, terapi interpersonal, dan lain-lain. Terapi yang dilakukan bertujuan untuk membuat Anda lebih mengenali dan menerima diri sendiri, mengurangi kecemasan dan membantu seseorang untuk mengatasi emosi yang muncul.
3. Konsumsi obat-obatan
Jika gejala yang muncul membutuhkan bantuan obat-obatan maka psikiater akan meresepkan obat-obatan sesuai kondisi pasien. Jenis obat yang diberikan umumnya obat antidepresan atau obat SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitors).
4. Kelola stres dengan baik
Setiap stres melanda, cobalah untuk mengelola stres dengan baik. Ungkapkan keluh kesah Anda baik dengan menuliskannya di buku jurnal atau membicarakannya dengan psikolog dan orang terdekat. Anda juga bisa melakukan meditasi dan aktivitas menyenangkan lainnya agar tubuh dan pikiran menjadi lebih rileks.
5. Terapkan gaya hidup sehat
Menjalani gaya hidup sehat dengan makan makanan sehat, rutin olahraga dan menjaga kualitas tidur dapat membantu Anda mengurangi stres. Selain itu, kurangi mengonsumsi konten di media sosial yang membuat Anda sulit berpikir positif dan berhentilah membandingkan diri sendiri dengan orang lain.
Bila Anda merasa mengalami gejala duck syndrome dan mulai merasakan gangguan kecemasan serta sulit tidur, maka sebaiknya segera hubungi dokter, psikolog atau layanan konsultasi kesehatan mental untuk mendapatkan penanganan yang tepat.
- dr Nadia Opmalina
Roxanne Drydend-Edwards, MD. Duck Syndrome (2021). Available from: https://www.medicinenet.com/duck_syndrome/article.htm
Cleveland Clinic. Stress: 10 Ways to Ease Stress (2020). Available from: https://my.clevelandclinic.org/health/articles/8133-stress-10-ways-to-ease-stress